Alkisah, di padang Arafah Ali bin Husain bertanya kepada Zuhri, ” Menurut engkau , berapakah kira-kira orang yang wukuf disini?”
Kata Zuhri,”Menurut perkiraanku ada sekitar empat atau lima ratus ribu orang. Semuanya Haji, mereka menuju Allah dengan harta mereka dan berteriak-teriak memanggil-Nya.”
Ali bin Husain pun berkata,” Hai Zuhri, sebenarnya sedikit sekali yang haji.”
Zuhri tentu saja keheranan,”Sebanyak itu apakah sedikit?”
Ali lalu menyuruh Zuhri mendekatkan wajahnya kepadanya. Kemudian Ali mengusap wajahnya dan menyuruhnya melihat kembali.
Zuhri terkejut. Kini ia melihat monyet-monyet berkeliaran dengan menjerit-jerit. Hanya sedikit manusia diantara kerumunan monyet-monyet itu.
Ali mengusap wajah Zuhri kedua kalinya. Ia kini menyaksikan Babi-babi, dan sedikit sekali manusia.
Pada usapan yang ketiga, Zuhri melihat banyaknya serigala dan sedikit sekali manusia.
Berkat sentuhan orang Salih, Zuhri dapat melihat kebalik tubuh-tubuh mereka yang sedang wukuf di Arafah. Tuhan berkenan menyingkapkan tirai baginya, sehingga pandangannya menjadi sangat tajam. Ia terkejut dan kebingungan, karena begitu banyaknya orang yang tampak lahirnya adalah manusia, tetapi hakikatnya binatang. Ia pun berfikir, apakah kebanyakan kita hanyalah manusia secara tampilan, dan binatang secara hakiki?.
Ibadah Haji adalah perjalanan manusia untuk kembali kepada fitrah kemanusiaannya. Rupanya kesibukan pada dunia telah melemparkan kita dari kemanusiaan kita. Kita jatuh menjadi mahluk yang lebih rendah; bukannya menjadi khalifah Allah SWT, tetapi justru kita menjadi Monyet, babi, dan serigala. Oleh karena itu, para jemaah haji dari satu sisi dapat dilihat ibarat rombongan binatang yang ingin kembali menjadi manusia.
Para jamaah haji semestinya meninggalkan segala sifat kebinatangannya. Seperti ular, mereka harus mencampakkan kulit lamanya agar menjalani kehidupan baru. Baju -baju kebesaran, yang sering dipergunakan untuk mempertontonkan kepongahan, harus dilepaskan. Lambang-lambang status, yang sering dipakai untuk memperoleh perlakuan istimewa, harus dikubur dalam lubang bumi. Sebagai gantinya, mereka memakai kain kafan, pakaian seragam yang akan dibawanya nanti ketioka kembali ketempat asalnya.
Para jemaah haji harus meninggalkan intrik-intrik monyet, kerakusan babi, dan kepongahan serigala. Mereka harus menjadi manusia lagi. Seorang haji adalah ibarat anak kecil yang baru dikeluarkan dari perut ibunya, yaitu : suci dan telanjang; yang selanjutnya ia akan melangkah dengan langkah-langkah kesucian, kejujuran, kerendahan hati, dan pengabdian.
Marilah kita renungkan , berapa banyakkah diantara jutaan orang yang beruntung dapat terhimpun di Arafah adalah Haji, dalam artian manusia yang sudah kembali kepada fitrahnya? Berapa besarkah diantara mereka yang sudah meninggalkan selama-lamanya sifat-sifat kebinatangannya, dan sebagai gantinya menyerap Rahman-Rahimnya Allah? Mungkin kita tidak pernah tahu.
Jika Ibadah Haji dilakukan dengan Khusuk maka ada tiga keutamaan yang dapat dirasakan menurut sebagian orang yang telah menunaikannya, yaitu :
- Kenikmatan dalam beribadah.
- Doa yang makbul
- Ketajaman introspeksi
Sebagaimana lazimnya suatu perjalanan, maka dibutuhkan perbekalan. Perbekalan untuk menunaikan ibadah Haji paling sedikit ada tiga, yaitu :
- Ikhlas (tanpa ragu-ragu)
- Sabar
- Berserah Diri
Rasulullah SAW , telah bersabda, “bahwa Iman manusia itu amat mudah berubah, yaitu laksana bulu ayam yang digantungkan di padang pasir.”
Oleh karena itu, oleh karena itu, boleh jadi penurunan iman itu terjadi pada saat menunaikan ibadah haji. Ada beberapa kiat untuk mempertahankan atau meraih kembali iman yang turun :
- Sering-sering melaksanakan Thowaf
- Laksanakan setiap hari qiyamul lail
- Rajin membaca Al-Qur’an
- Hati selalu diisi dengan Zikir
- Batasi dalam berbicara.
Setiap Jemaah Haji adalah Tamu Allah, oleh karena itu usahakanlah agar menjadi Tamu yang Sopan.
***
Sumber: Diringkas dari sentuhan Kalbu karya Ir. Permadi Alibasyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar